DAIRI - Meski pemerintah melalui Kementerian Kehutanan sudah menunjuk perusahaan untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan produksi Tele-II Dairi, namun perambahan liar (illegal logging) terus saja terjadi. Perambahan liar tersebut dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan kelompok masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Masyarakat (FKKM) Kecamatan Sumbul, Huntal Sinaga, dan tokoh masyarakat pemangku hak ulayat Desa Parbuluan VI, Ramson Naibaho, Senin (17/5/2021).
Wilayah hutan produksi Tele-II Dairi, kata Huntal Sinaga, meliputi lima desa di dua kecamatan. Masing-masing Desa Barisan Nauli, Desa Pargambiran, Desa Perjuangan, Desa Sileuh-leuh Parsaoran di Kecamatan Sumbul, serta Desa Parbuluan VI di Kecamatan Parbuluan.
Huntal Sinaga menjelaskan, wilayah hutan produksi Tele-II Dairi meliputi lima desa di dua kecamatan. Masing-masing Desa Barisan Nauli, Desa Pargambiran, Desa Perjuangan, Desa Sileuh-leuh Parsaoran di Kecamatan Sumbul serta Desa Parbuluan VI di Kecamatan Parbuluan.
Untuk memuluskan aksinya oknum-oknum tidak bertanggungjawab menyebarkan informasi-informasi tidak benar alias hoax. Sehingga kerusakan hutan seakan-akan dilakukan oleh perusahaan pemegang izin, tambahnya lagi.
"Di sini kita melihat oknum-oknum tak bertanggungjawab itu membenturkan masyarakat dengan perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan Tele-II Dairi. Akibatnya meski sudah mengantongi izin pengelolaan hutan Tele-II Dairi, perusahaan tidak dapat bekerja di lapangan," ujarnya.
Akibat perambahan liar tersebut, lahan Tele-II Dairi awalnya seluas 8.085 hektar. Hutan yang tersisa hanya kurang lebih 3.325 ha. Sekitar 2.000 ha sudah jadi pemukiman warga dan lahan pertanian. Sedangkan 2.760 ha lebih merupakan areal bekas perambahan dan pembalakan.
"Artinya 4.760 ha hektar lebih sudah dirambah oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab yang mengatasnamakan kelompok masyarakat," ujarnya.
Sementara itu tokoh masyarakat dan pemangku hak ulayat Desa Parbuluan VI, Ramson Naibaho mengatakan, perambahan hutan paling masif dan masih berlangsung hingga saat ini terjadi di Desa Perbuluan VI, Kecamatan Parbuluan.
Informasi didapat Ramson hingga sebulan lalu, hutan di Desa Parbuluan VI yang sudah dirambah oleh oknum tidak bertanggung jawab itu mencapai 200 hektar lebih.
Ramson mengaku, sebelumnya dia termasuk ke dalam kelompok penentang kehadiran perusahaan yang telah ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan. Tapi, seiring perjalanan waktu, dia menyadari bahwa penentangan yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan segelintir oknum-oknum tidak bertanggungjawab, sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat.
Buktinya, lanjut Ramson, lahan-lahan yang telah rusak kemudian dijual ke masyarakat dengan harga bervariasi.
Bahkan, akhir-akhir ini ada masyarakat luar Desa Parbuluan VI yang membeli lahan tersebut.
"Bahkan ada warga yang tidak memiliki KTP dan tidak tercatat sebagai warga Desa Parbuluan VI membeli lahan yang sudah dirusak oleh oknum-oknum yang tergabung dalam kelompok masyarakat tersebut," ujarnya.
Kenyataan ini membuat Ramson Naibaho sadar, bahwa kehadiran kelompok masyarakat itu tidak hanya merusak hutan, tapi juga telah merusak tatanan hak ulayat di desanya.
Terlebih setelah mengetahui, bahwa kebijakan pemerintah untuk menunjuk perusahaan sebagai pemegang izin untuk mengelola lahan di Desa Parbuluan VI bertujuan sangat baik.
"Selain untuk menyelamatkan hutan di Desa Parbuluan VI, perusahaan yang ditunjuk juga akan memberikan kesejahteraan kepada warga saya di ini. Apa yang telah dilakukan oknum-oknum tidak bertanggungjawab itu melalui kelompok masyarakat hanya modus untuk mengeruk keuntungan pribadi," ujarnya.
Sejak itulah, Ramson mulai menyadarkan warga Desa Parbuluan VI, bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok masyarakat itu, tidak benar. Namun, karena kebanyakan warga sudah 'dicuci otak' oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab banyak warga yang tidak mempercayai penjelasannya.
Sedangkan kelompok masyarakat sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Ramson. "Setiap kali saya mau bertemu untuk menjelaskan persoalan sebenarnya, mereka selalu mengelak," jelasnya.
Untuk itu, Ramson Naibaho akan melakukan langkah hukum, karena keberadaan oknum-oknum tak bertanggungjawab melalui kelompok masyarakat itu sangat merugikan warganya.
Warga dikutip dengan berbagai kewajiban dengan alasan untuk memperjuangkan lahan. Namun kenyataannya, sampai saat ini belum ada hasil apapun dari kelompok tersebut.
"Berbagai kutipan mereka lakukan. Mulai iuran Rp50 ribu sampai Rp100 ribu per bulan, kemudian iuran untuk mendanai lembaga bantuan hukum. Juga praktek jual beli lahan sebesar Rp 4 juta dan yang terakhir biaya untuk menemui salah seorang petinggu partai politik di Jakarta satu kepala keluarga dikutip Rp 150 ribu. Namun sampai saat ini, belum ada penjelasan dari kelompok tersebut tentang hasil upaya mereka," ujar Ramson.
Bahkan, lanjut Ramson, warganya dijanjikan Desember 2020 lalu dibuatkan sertifikat. "Kenyataannya sampai saat ini sertifikat yang dijanjikan tidak kunjung selesai," ujarnya.
"Jadi langkah hukum yang akan saya lakukan demi menyelamatkan hutan di Desa Parbuluan VI. Saya berharap melalui langkah hukum, aparat dapat bertindak cepat," ujarnya. (red))