Iklan

Iklan

Hakim Pertanyakan Status Mujianto DPO Polda, P21 Berkas Lalu SKP2 Kejatisu

08 Agustus 2019, 17:36 WIB Last Updated 2020-10-28T17:35:32Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


GLOBALMEDAN.COM, MEDAN - Sidang lanjutan praperadian SKP2 Mujianto di PN Medan berjalan alot, Rabu (7/8/2019). Hakim tunggal Ali Tarigan terheran mendengar Mujianto sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Poldasu karena melarikan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan.

“Setelah ditetapkan menjadi tersangka, Mujianto sempat ditahan selama 9 hari di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Poldasu. Ia dilepas dengan jaminan pihak keluarga. Namun, Mujianto tidak kooperatif hingga Poldasu memasukkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)," ucap saksi Rudi Hendro Wijaya Silitonga menjawab hakim di persidangan yang digelar di ruang Cakra 6 PN Medan.

Pelarian Mujianto terhenti setelah pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta berhasil meringkusnya saat hendak kabur keluar negeri. Mujianto kemudian digelandang ke Mapoldasu untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. “Hampir 4 bulan Mujianto menjadi buronan yang masuk DPO Poldasu. Dalam tenggang waktu itu, perkaranya pun sudah dinyatakan lengkap memenuhi ketentuan hukum formil dan materil alias P21,” sebut Rudi yang mengaku mengetahui kasus Mujianto P21 berdasarkan keterangan pers Direktur Reskrimum Polda Sumatera Utara Kombes Andi Rian.

Setelah ditangkap pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta, ujar Rudi, selanjutnya Mujianto dibawa ke Mapoldasu. Sehari kemudian Mujianto bersama stafnya Rosihan Anwar berikut berkas perkara dan barang bukti diserahkan Poldasu ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) untuk diproses ke pengadilan. “Setelah perkaranya dinyatakan P21, pihak Poldasu menyerahkan Mujianto ke Kejatisu,” tutur Rudi.


Dalam kesempatan itu, Armen Lubis melalui kuasa hukumnya Arizal SH MH turut memperlihatkan dokumentasi berupa video dan kliping media massa terkait pelimpahan perkara Mujianto yang sudah dinyatakan P21 dan P22. “Ini buktinya,” ujar Arizal seraya menyerahkan dokumen kepada hakim dibenarkan pihak Kejatisu (Termohon II) dan Poldasu (Turut Termohon).

Keterangan Rudi juga dibenarkan saksi Hasbullah. Menurutnya, kasus dugaan penipuan yang menjerat Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar sudah dinyatakan lengkap memenuhi ketentuan hukum formil dan materil (P21). Hal itu diketahuinya berdasarkan keterangan pers dari Kasipenkum Kejatisu Sumanggar Siagian. Bahkan, Sumanggar menyebut kasus tersebut sudah P22 setelah penyidik Poldasu melimpahkan berkas perkara dan barang bukti berikut tersangka Mujianto ke  Kejatisu.

 "Dalam keterangannya kepada pers, Kasipenkum Sumanggar menyebut kasus Mujianto sudah lengkap atau P21, bahkan P22. Mujianto juga disebutkan tidak ditahan dengan alasan kooperatif dan memberikan jaminan Rp 3 miliar," tutur Hasbullah seraya menyebut dirinya masih menyimpan video konferensi pers tersebut.

Saksi lainnya, Sahril Pohan menerangkan adanya pekerjaan penimbunan dilakukan Armen Lubis di lahan Mujianto di Kampung Salam, Belawan. Ia menyebut lahan seluas 3,5 hektar itu sebelum ditimbun disebut-sebut sudah direncanakan akan dijual Mujianto kepada PT Bungasari. Pekerjaan penimbunan itu awalnya dikerjakan Marwan alias Aguan, namun terhenti. Kemudian penimbunan dikerjakan oleh Amin Togi dari pihak Mujianto sendiri, tapi juga terhenti. Selanjutnya dikerjakan Armen Lubis dengan volume pekerjaan selesai sekitar 1 hektar, akan tetapi kembali terhenti karena hasil pekerjaannya itu tidak dibayar oleh Mujianto. Kemudian lahan itu dikerjakan pihak lain yang dihunjuk Mujianto.

"Lahan yang ditimbun itu sekarang sudah dijual ke PT Bungasari," katanya.

Poldasu selaku Turut Termohon melalui kuasa hukum Kabidkum AKBP Andry Setiawan, AKBP Dadi Purba, AKPB Yanta Upik, Kompol Bambang Ardy dan Kompol Gustami, dalam persidangan menyampaikan jawaban atas gugatan praperadilan yang dimohonkan Armen Lubis. Dalam keterangannya, Armen Lubis awalnya membuat laporan pengaduan ke Poldasu No Pol LP/509/IV/2017SPKT “II” tanggal 28 April 2017. Armen melaporkan adanya dugaan pidana penipuan dan atau penggelapan yang disangkakan dilakukan Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar. Laporan itu ditindaklanjuti dengan penyelidikan yang kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan. Sejumlah barang bukti disita, beberapa saksi pun diperiksa. Setelah itu dilakukan gelar perkara. Hasilnya, Mujianto alias Anam dan Rosihan Anwar ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 dan atau 372 KUHPidana.

Setelah terpenuhinya syarat yuridis berupa formil dan materil, Ditreskrimum Poldasu melakukan penahanan terhadap Mujianto dan Rosihan Anwar. Kemudian keduanya dilepas setelah berjanji kooperatif dan ada jaminan dari pihak keluarga. Namun, dalam perjalanannya Mujianto tidak kooperatif hingga akhirnya Poldasu memasukkanya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Selanjutnya Mujianto ditangkap di Jakarta lalu dibawa ke Mapoldasu yang kemudian dilimpahkan ke Kejatisu untuk menjalani proses hukum selanjutnya. “Penyidik telah menetapkan Mujianto sebagai tersangka dan telah melengkapi berkas perkara, dan telah dilimpahkan ke Kejatisu. Dan telah melakukan penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti (P22) ke Kejatisu guna untuk disidangkan,” tegas Bidang Hukum Poldasu seraya menerangkan bahwa SKP2 yang dikeluarkan Kejatisu bukanlah kewenangannya.

Usai persidangan, Armen Lubis melalui kuasa hukumnya menyesalkan ketidakprofesionalan penyidik Kejatisu. Ia menduga Kejatisu yang menangani perkara Mujianto telah terbukti unprofessional conduct. Alasannya, kasus Mujianto jelas dan nyata dipaparkan penyidik Poldasu sudah memenuhi ketentuan formil dan materil (P21) bahkan sudah P22 hingga layak segera disidangkan di pengadilan. “Penjelasan dari pihak Turut Termohon (Poldasu) jelas menyebut kasus itu sudah P21 dan malah P22. Penetapan P21 dari Poldasu itu atas petunjuk penyidik Kejatisu sendiri. Bahkan, status P21 itu juga diakui pihak Termohon II (Kejatisu) sendiri.

“Pihak Kejatisu melalui Kasipenkum juga telah memberi keterangan pers bahwa kasus Mujianto akan secepatnya disidangkan ke pengadilan. Tapi, nyatanya bukan dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan, justeru malah dihentikan lewat SKP2. Inikan jelas menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” tuturnya.

Menurut Arizal, penerbitan SKP2 Print-01/N.2.4/Epp.1/03/2019 tanggal 12 Maret 2019 tersangka Mujianto, sangat bertentangan dengan ketentuan berlaku terhadap perkara yang sudah dinyatakan penuntut umum telah lengkap memenuhi ketentuan material dan formil (P21). Apalagi penyidik Poldasu telah melimpahkan berkas perkara berikut tersangkanya kepada penuntut umum (P22).  “Penerbitan SKP2 tersangka Mujianto tidak berdasar. Wajib ditolak atau tidak dapat diterima demi hukum,” sebutnya.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kata Arizal, penuntut umum sejatinya wajib melimpahkan perkara yang sudah P21 ke pengadilan paling lama 15 hari sejak diterimanya tersangka dan barang bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP Jo Pasal 1 angka 3 UU RI No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia Jo Pasal 1 angka 8, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) PERJA No.PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum).

“Demi kepastian hukum, tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk tidak melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Biarlah pengadilan memutus apakah peristiwa yang didakwakan masuk atau tidak dalam ranah tindak pidana,” tegasnya.

Penerbitan SKP2, ujar Arizal, merupakan pelanggaran terhadap keadilan prosedural yang tidak berdasar hukum sekaligus pelanggaran hak asasi manusia yaitu hak korban Armen Lubis untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. “Karena itu, demi hukum wajib SKP2 Mujianto dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum karena tidak berdasarkan hukum adanya,” tegasnya.

Pendapat Arizal itu senada dengan ahli hukum Universitas Sumatera Utara, Dr Mahmud Muliadi SH MHum. Menurutnya, tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk tidak melimpahkan perkara yang sudah dinyatakan lengkap ke pengadilan. “Sudah lengkap, tidak ada alasan penuntut umum untuk tidak melimpahkannya ke pengadilan. Tidak ada alasan menunda-menunda pelimpahan perkara. Wajib bagi penuntut umum melimpahkan perkara yang sudah lengkap untuk diperiksa di pengadilan,” ujar ahli pidana USU itu menyikapi lambannya pelimpahan kasus yang menjerat Mujianto ke pengadilan.

Dalam pandangan Mahmud, berkas yang sudah P21 bermakna sudah lengkap. “Kalau sudah P21, artinya berkas sudah lengkap diterima oleh penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan. Apabila sudah dinyatakan lengkap, maka otomatis pelimpahan berkas sudah selesai, dan diikuti penyerahan tersangka untuk proses pengadilan,” katanya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

    Menurut Mahmud, berkas perkara sudah lengkap perlu segera dilimpahkan kepengadilan supaya ada kepastian hukum. “Dari azasnya, peradilan cepat, sederhana, efektif, efesien, biaya ringan, menandakan butuh cepat ditegakan di pengadilan, supaya cepat dapat kepastian hukum. Yang bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Ini juga untuk kepastian hukum seseorang sehingga membawa keadilan,” ujarnya.

    Hal senada diutarakan Dr Edi Yunara SH MHum. Ahli hukum pidana USU itu,  menegaskan bahwa kasus yang pemberkasannya sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil (P21), seharusnya segera dilimpahkan ke pengadilan. “Bila jaksa selaku penuntut umum berpendapat lain seharusnya berkasnya dikembalikan ke penyidik (kepolisian) untuk dilengkapi. Tapi kalau sudah dinyatakan P21, harus dilimpahkan ke pengadilan. Biarlah pengadilan yang menentukannya,” tegasnya.

Edi Yunara menjelaskan asas legalitas dalam hukum acara pidana. “Sesuai Hukum Acara Pidana, asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara yang sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil,” ucapnya.

    Menurutnya, ada tiga hal yang membenarkan suatu perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pertama, nebis In idem. Kedua, demi hukum (tersangka meninggal dunia), dan yang ketiga untuk kepentingan umum. “Bila tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut, maka perkara itu sangat layak dilimpahkan ke pengadilan, demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum,” papar Edi.

    Seperti diketahui kasus dugaan penipuan Mujianto itu awalnya dilaporkan Armen Lubis ke Ditreskrimum Polda Sumatera Utara. Laporan itu ditindaklanjuti polisi secara professional dan proporsional dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hasilnya, polisi menetapkan Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar sebagai tersangka melanggar ketentuan Pasal 378 dan atau Pasal 372 KUHPidana. Poldasu juga sudah melakukan penahanan terhadap Mujianto dan Rosihan.

Selanjutnya perkara dugaan penipuan itu dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejatisu mulai 7 April 2018 silam. Pihak Kejatisu menyatakan perkara itu sudah memenuhi ketentuan formil dan materil hingga layak disidangkan ke pengadilan. Mirisnya, Mujianto sangat tidak kooperatif sehingga Poldasu sejak 19 April 2018 menetapkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Poldasu juga menerbitkan surat pencekalan Mujianto yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.

Setelah tiga bulan DPO, pada 23 Juli 2018 pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta berhasil menangkap dan menyerahkan Mujianto kepada Poldasu. Selanjutnya, 26 Juli 2018, penyidik Poldasu menyerahkan Mujianto dan Rosihan Anwar kepada Kejatisu, untuk diproses secara hukum di pengadilan.

Hanya beberapa jam setelah penyerahan itu, JPU Kejati melepaskan Mujianto dengan jaminan uang sebesar Rp 3 miliar. Mirisnya, setelah setahun tak dilimpahkan, Kejatisu malah menerbitkan SKP2 hingga memaksa Armen Lubis mengajukan praperadilan terhadap Kejagung (Termohon I), Kejatisu (Termohon II) dan Poldasu (Turut Termohon). (*/rh)
Komentar

Tampilkan